PETI di Sungai Melawi: Fakta Terekam, Penegakan Hukum Dipertanyakan

Melawi, Kalimantan Barat – Suara bising mesin dompeng kembali memecah keheningan di aliran Sungai Melawi. Di tengah beningnya pagi, air sungai berubah keruh oleh sedotan pasir dari dasar sungai. Lanting-lanting kayu tempat penambang berdiri bergoyang pelan, menyimpan kenyataan yang tak terbantahkan seperti praktik Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) masih berlangsung yakni tepat di depan mata.
Namun, publik dibuat terperangah ketika pihak Polres Melawi secara resmi menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya aktivitas PETI di lokasi tersebut. Pernyataan ini muncul setelah sejumlah pemberitaan dan video viral yang menunjukkan aktivitas penambangan ilegal di Desa Tanjung Paoh, Kecamatan Nanga Pinoh.
Yang membingungkan, justru hasil investigasi media pada 24 Mei 2025 membuktikan sebaliknya. Dalam dokumentasi yang dirilis ke publik, kamera wartawan berhasil merekam secara langsung keberadaan lanting dan mesin dompeng yang tengah beroperasi. Lebih dari sekadar gambar, data tersebut dilengkapi dengan timestamp, koordinat GPS, dan lokasi yang terverifikasi melalui Google Maps.
“Mustahil kegiatan sebesar itu tidak terlihat oleh aparat. Kami punya bukti visual dan data lokasi yang bisa divalidasi siapa saja,” ungkap salah satu wartawan investigasi.
Menurut sejumlah warga, aktivitas PETI sudah menjadi "pemandangan umum" di Sungai Melawi. Mereka menyebut penambangan dilakukan siang dan malam, namun tak pernah terlihat ada tindakan tegas dari aparat.
“Sudah lama itu. Kadang siang, kadang malam. Tapi tidak pernah ada yang ditangkap,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Publik mulai mempertanyakan keseriusan aparat dalam menangani kasus ini. Apakah penyisiran hanya dilakukan sebagai formalitas, atau mungkinkah informasi operasi bocor sehingga para penambang bisa menghilang lebih dulu?
Di tengah teknologi yang memungkinkan pelacakan lokasi secara real-time, justifikasi aparat menjadi sulit diterima akal sehat. Terlebih, ketika bukti yang begitu gamblang justru dibantah secara resmi.
PETI bukan hanya urusan pelanggaran administratif. Ia merusak ekosistem sungai, mencemari air dengan merkuri, dan merampas hak hidup masyarakat yang menggantungkan kehidupan dari sungai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, aktivitas pertambangan tanpa izin dapat dikenakan pidana hingga 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Tapi, bila penegakan hukum justru lemah, semua pasal tinggal teks di atas kertas.
“Jika bukti sejelas ini saja bisa diabaikan, lalu bagaimana dengan kasus lain yang lebih tersembunyi?” tegas seorang aktivis lingkungan setempat.
Kekecewaan kini bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tapi juga soal integritas. Di era keterbukaan digital, saat masyarakat bisa memverifikasi sendiri informasi lewat teknologi, upaya menutup-nutupi justru memicu krisis kepercayaan.
Masyarakat dan sejumlah pengamat hukum mendesak agar pemerintah daerah, aparat kepolisian, hingga lembaga pengawasan nasional segera turun tangan. Evaluasi menyeluruh, investigasi independen, dan tindakan nyata menjadi tuntutan utama.
PETI di Sungai Melawi bukan sekadar cerita tambang ilegal. Ini adalah cerita tentang bagaimana suara rakyat, jeritan lingkungan, dan suara kebenaran bisa dibungkam oleh pembelaan tanpa dasar.
Kini, masyarakat menanti bukan hanya tindakan, tapi keberanian untuk menegakkan hukum yang adil dan berpihak pada masa depan. (TIM)