"Tertindas di Desa Sendiri": Jeritan Syahril dan Dugaan Damai Rekayasa, Saat Luka Anak Dibungkam oleh Kekuasaan

Takalar, Sulawesi Selatan — Di sebuah desa kecil bernama Timbuseng, suara seorang anak laki-laki berusia 14 tahun kini menggema sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Namanya Syahril, anak polos yang seharusnya sedang bermain dan belajar justru menjadi korban dugaan penganiayaan, dan lebih tragis lagi, korban dari sistem yang mestinya melindunginya.
Namun luka Syahril bukan hanya soal memar dan sakit di tubuh. Yang paling menyakitkan adalah ketika keadilan dirampas di depan matanya.
Pada 24 Mei 2025, sebuah surat "perdamaian" tiba-tiba muncul. Surat itu hanya ditandatangani satu pihak yaitu Ibu dari terduga pelaku, seorang anak berinisial IBL. Anehnya, keluarga korban tidak pernah diajak bicara, tak pernah dimintai pendapat, bahkan tidak tahu menahu. Tidak ada mediasi. Tidak ada kesepakatan.
Yang lebih mengejutkan, surat ini dibuat dan dibagikan langsung oleh Kepala Dusun Rahman Daeng Solle seorang tokoh desa yang seharusnya menjadi pelindung bagi warganya. Ketika dikonfirmasi, jawabannya dingin dan mengiris hati yakni "Sudah didamaikan."
Disertai kiriman foto surat perdamaian. Tanpa rasa empati. Tanpa konfirmasi ke keluarga korban. Tanpa keadilan.
Keluarga Syahril menolak tegas surat damai itu. Mereka tak menerima tindakan sepihak yang dianggap sebagai bentuk pembungkaman. “Kami bukan rakyat bodoh. Anak kami bukan tumbal untuk menyelamatkan nama baik pelaku,” ujar sang nenek dengan mata berkaca-kaca.
Tangis keluarga ini menjadi jeritan masyarakat kecil yang sering kali tak punya suara. “Kami hanya ingin satu hal: keadilan untuk anak kami.”
Desakan demi desakan muncul agar Kepala Dusun Rahman Daeng Solle dievaluasi bahkan dicopot. Dugaan bahwa ia berpihak pada pelaku dan turut menghalangi proses hukum membuat publik geram. “Kalau aparat desa berpihak pada pelaku, siapa lagi yang akan melindungi anak-anak kita?” kata salah satu warga.
Pada 1 Juni 2025, keluarga korban resmi melapor ke Polres Takalar. Mereka meminta agar hukum ditegakkan tanpa intervensi dan intimidasi. Ini bukan hanya tentang Syahril, tapi tentang masa depan sistem hukum kita. Apakah hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Anak ini butuh lebih dari sekadar simpati. Syahril butuh pembelaan. Butuh aparat yang berpihak. Butuh desa yang tak mengkhianatinya, karena jika seorang anak yang disakiti malah disuruh diam, lalu di mana letak keadilan?
"Tertindas di desa sendiri, dibungkam oleh kekuasaan, Syahril kini menjadi wajah anak-anak Indonesia yang menanti, apakah negara masih peduli?" (TIM)